Tugas - Resensi Buku Dari Penjara Ke Penjara

Dari Penjara Ke Penjara

Pendahuluan

Abraham Ali Fakih alias Muhammad Ali Fakih ialah seorang penulis buku ini, ia lahir pada hari selasa 8 maret 1988 di Kerta Timur, Dasuk, Sumenep. Ia adalah Putra (alm) Asyikurrahman dan Ibu Rusipa. Pendidikan dasarnya ditempuh di kota kelahirannya, begipun pada jenjang menengah, kcintaannya pada ilmu pengetahuam sangat besar, Setelah menempuh pendidikan di beberapa lembaga di kota kelahirannya, ia kemudian merantau ke luar tanah kelahirannya.

Yogyakarta dipilihnya dalam pengembaraan intelektualnya. Abraham Ali Fakih melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) sunan kalijaga. Untuk aktivitasnya diluar akademik , ia bergiat di lembaga kajian kutub Yogyakarta (LKKY). Beberapa buku , artikel dan esainya telah terbit di sejumlah media local dan nasional

Identitas Buku

Judul                 : Dari Penjara Ke Penjara
Pengarang        : Abraham Ali Fakih
Penerbit            : PALAPA
Tempat Terbit   : Yogyakarta
Tahun Terbit     : 2015
Cetakan            : Pertama, April 2015
Ukuran             : 24  x 15,5 cm
Jumlah Halaman: 296
ISBN 978-602-255-735-7                                  
Harga               : Rp 50.000

Gambaran isi buku

Judul              : Dari Penjara Ke Penjara
Bidang           : Sejarah Perjuangan dalam Konteks Kemerdekaan
Tema         :Perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran emas Tan Malaka dalam konteks Keindonesiaan
Isi pokok     : Studi Komprehensif atas perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran emas Tan Malaka dalam konteks Keindonesiaan

Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusioner yang memiliki jasa begitu besar bagi negara Indoensia . Meskipun sebagian besar hidupnya ia habiskan sebagai tahanan dan buronan pasukan imperialis, tetapi karena kelincahan dan kecerdasannya ia selalu berhasil menyelinap dan masuk ke berbagai negara untuk melancarkan aksinya.

Tan Malaka yang masa kecilnya memiliki nama panggiln Ibrahim, dilahirkan pada 14 Oktober di Nagari Padam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Ia menginggal dunia pada 21 Februari 1949, saat berumur 51 tahun , Di Kediri , Jawa Timur

Saat meletus Perang Dunia I (1914-1918) yang terpusat di eropa membuat Tan Malaka tidak memungkinkan kembali pulang dan dirasakan demokrasi serta kemerdekaan di Belanda sangat berbeda dari keterlibatan kolonial. Ia terjun aktif dalam organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia, serta selalu bersimpati terhadap sosialisme dan komunisme

Pada 1919, setelah menyelesaikan pendidikannya, Tan Malaka pulang ke tanah air , Di Negerinya, Tan Malaka bekerja sebagai guru di perkebunan Tanjung Morawa, Deli , Sumatera Timur. Saat bekerja itulah , Tan Malaka meilhat ketimpangan yang terjadi antara kaum butuh perkebunan dan para majikan perkebunan, ditambah lagi kesewenang-wenangan kaum pemodal

Pada 1921, Tan malaka berhenti bekerja dan memutuskan pergi ke jawa . Ia berhenti bekerja karena ketidakpuasan terhadap para buruh di perkebunan itu. DI tempat itulah , Tan Malaka menyaksikan bahwa terdapat jurang pemisah yang begitu dalam antara kaum imprealis dan tenaga kuli kontrak

Menlihat kenyataan tersebut, Tan Malaka berusaha menjembatani kedua kelompok tersebut dengan cara mengangkat derajat kaum kuli kontar melalui pendidikan, Akan teteapi, usaha tersebut selalu dihalang-halangi oleh pemerintahan Belanda, Akhirnya , Tan Malaka pun merasa tidak betah dan memilih pindah ke tanah jawa.

Awalnya , Tan Malaka singgah di Yogyakarta, kemudian pindah ke Semarang dan bergabung dengan serekat islam cabang semarang,yang saat itu dibawah kepemimpinan Semaun. Pada saat yang sama , semaun mendirikan Partai komunis Indonesia . Mulanya , partai itu masih menjadi bagian serekat islam Semarang.

Bersama Semaun , Tan Malaka Banyak mendirikan sekolah sekolah rakyat di Semarang, dan dengan cepat dapat mempengaruhi tempat – tempat lain yang kemudian banyak berdiri sekolah sekolah rakyat . pada 1921 , saat semaun ke moskow (Rusia-Uni Soviet), Kala itu pulalah Tan Malaka terpilih sebagai ketua PKI semarang. Keputusan itu diambil saat kongres PKI 24-25 Desember 192, di Semarang

Dalam masa kepemimpinannya terhadap PKI, Tan Malaka berhasil menghimpun Sarekat Islam dan National Indische Partij dalam menghadapi penjajah, Bagi Tan Malaka , Komunisme dan SIlam memang saling melengkapi dan revolusi mestinya dibagun atas keduanya.

Aktivitas Tan Malaka dipandang oleh pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversive. Ia pun ditangkap dan diusir ke luar negeri pada 22 Maret 1922, atas dasar Exorbitante Rechten gubernur jendral Hindia Belanda. Exorbitante Rechten adalah hak prerogative gubernur jendral unutk menangkap atau mengasingkan siapapun yang dinilai mengacaukan stabilitas keamanan

Saatitu, Tan Malaka mengembara ke berbagai Negara selama 20 tahun, baik sebagai orang biasa meupun buronan. Dalam pelariannya, ia memiliki banyak nama samara, seperti Elies Fuentes ketika memasuki Manila dan Hongkong (1927), Oong Soong Lee ketika memasuki Hongkong dariShanghai (1923), Ramli Husein saat kembali ke Indoensia (1942) , Nama samara lainnya adalah Hasan Ghazali, Ilyas Husein,Sheng kun, tat, elision Rivera dan Haji Hassan saat berada di Chiang May . Sealama di luar negeri, banyak hal yang ia lakukan dan amat menentukan, baik tehadap kemantapan dirinya sebagai pejuang maupun terhadap Hindia-Belanda (Indoensia) yang ia perjuangkan.

Menurut Tan Malaka , ia mengembara dan dipenjara seakan menjadi bukti akan kerasnya perlawanannya terhadap praktik imperlialisme yang mendominasi di berbagai negara. Dalam hal ini , seolah olah Tan Malaka hendak mnegatakan bahwa semakin keras perjuagan dan perlawanan sesorang melawan imprealisme maka akan semakin sering pula ia dihadapkan dengan penjara

Pada satu sisi, Tan Malaka mengambil posisi sebagai symbol perjuangan rakyat Indonesia. Disisi yang lain, keberadaan penjara menjelma tembok imperalisme yang menjadi penghalang setiap perjuangan yang dilakukannya

Posisi dialektik tersebut, yakni antara Tan Malaka sebagai pejuang dan penjara sebagai simnol kekejaman imperalisme , Dibagian awal, Tan Malaka mengungkapkan beberapa konsep diaalektik, yaitu kodrat penolakan dan kodrat penarik, positif dan negatif, serta adil dan zalim
Melalui beberapa konsep tersebut, sebenarnya Tan Malaka hendak memosisiskan didirnya sebagai sosok yang berjuang menuntut keadilan  yang telah tercabut oleh kekejaman dan kezaliman imperalisme.

Isi buku


  •  Tujuan buku ini sangat jelas, untuk senantiasa memosisikan diri dan perjuangan dari Tan Malaka sebagai antithesesis dari setiap prakteik imperalisme
  •   Pembaca sasaran dalam buku ini adalah para sejarawan yang ingin mendalami secara komprehensif tentang seorang tokoh bernama Tan Malaka
  • Tema buku ini menarik, terutama bagi orang oran yang mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi
  • Untuk pembaca sasaran dari buku ini diharapkan dapat menjadi suatu sumber untuk motivasi dalam merasakan menjalani suatu pejalanan hidup dan perjuangan
  • Data data pada buku ini terbukti kongkrit dan benar , pada buku ini banyak tokoh tokoh yang berkomentar langsung megemukakan pendapatnya tentang seorang Tan Malaka
  •  Informasi pada buku ini cukup lengkap untuk mencapai tujuan penulis buku
  • Tidak ada hal yang baru dalam isi buku ini , pada buku ini hanya menerangkan kehidupan spesifik dari seorang Tan Malaka yang menginspirasi .
  • Sama seperti buku seorang tokoh pada umumnya, tidak ada yang spesial
  • Kekurangan dari buku ini yaitu bahasa yang sulit dipahami oleh awam, Tidak ada ada indeks dan glosarium pada buku ini.. Buku ini terfokus pada kelengkapan data,  sehingga penyampaian ke pembaca apalagi awam sangat susah dimengerti, tetapi mungkin bagi orang yang memang dibidangnya merasa nyaman membacanya, berbeda dengan buku yang lain, mereka tidak mefokuskan pada kelengkapan data, mereka hanya memberi data yang vital saja, tidak spesifik tetapi kata kata yang dibawakan sangat mudah dipahami.


Penyajian

  •  Isi buku disajikan secara sistematis dan logis, dilengkapi dengan alas an alas an yang terbukti fakta yang menguatkannya
  •  Bab 1 dan Bab 2 terdapat keterkaitan pada bab 1 mengisahkan dari Indonesia menuju ke Tanah pengasingan, pada bab 2 , menceritakan kebalinya Tan Malaka ke Indonesia
  • Keterkaitan sub Bab 1 dan sub Bab 2 sebagai berikut:

Bab 1
  1. Konsep perjuangan Tan Malaka
  2. Dari Belanda Menuju Indonesia
  3. Penjara dan Pembuangan Pertama
  4. Perjalananan antara Canton,Filipina dan Singapura
  5. Penjara dan Pembuangan Pertama

Bab 2
  1. Penjara dan Pembuangan ketiga
  2. Menyebrang ke Sumatera dan tiba lagi di Jakarta


  • Pada sub bab ini keterkaitannya adalah pelanjutan dari bab sebelumnya, seperti penjara dan pembuangan disitu terdapat 3 sesi pembahasan, jika kita langsung ke bab 2 maka , kita tidak akan mengetahui cerita asal muasal penjara dan pembuangan ke 1 dan 2
  • Penulisan paragraph pada buku ini menggunakan teknik deskripsi, narasi, eksposisi serta argumentasi, semuanya ada, tergantung dalam masalah apa yang yang dihadapi, misalnya dalam perjalanan antara Canton, Filipina dan Singapura disana menggunakan paragraph deskripsi dan ekposisi, karena menceritakan secara terperinci atau mendetil sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri serta menjelaskan atau memaparkan tentang sesuatu dengan tujuan memberi informasi berdsarkan fakta yang ada.
  • Deskripsi yang dipergunakan cukup jelas dan masuk akal, saya mengutip paragraph yang menurut saya masuk akal berdasarkan masalah yang berada di gambaran isi buku, berikut kutipanya:


“Berdasarkan lima tingkatan kemjauan masyarakat, Tan Malaka megajukan tentang konsep negara atau pertentanga kelas yang terjadi pada masing masing periode. Pada tingak pertama , yaitu masyarakat komunis asli. Kala itu masyrakat belum mnegetahui adanya negara yang kelak dikenal sabagai alay penindas kaum borjuis terhadap kaum lemah. Dengan demikian , pada periode tersebut masyarakat belum membutuhkan negara dan pola kehidupan masyarakatnya masih terlaksana berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan.

Menurut Tan Malaka, kebtuhan masyarakat akan keberadaan sebuah negara baru muncul pada tingkat kemajuan yang kedua , yaitu masyarakat budak. Pada tahap ini , kondisi perbudakan mendominasi di berbagai daerah di dunia. Kemudia masyarakat mulai menyadari akan pentingnya suatu negara, terutama bagi kalangan orang orang berpunya (memiliki budak) . Pada tahapan ini Tan Malaka menilai keberadaan negara sudah mulai dimanfaatkan oleh para pemilik budak untuk menindas kaum budak. Negara dan Kekuasaan pada periode ini, lebih digunakan sebagai alat untuk melegalkan penindasan oelh para tuan terhadap budak mereka. Pada masa ini kekuasaan suatu negara memperboleh para majikan untuk memperlakukan budak sekehendaknya, bahkan hingga membunuh sekalipun

Sedangkan pada tingkat kemajuan yang ketiga , yaitu masyarakat feudal, kekuasaan negara dipegang oleh ningrat. Menurut Tan Malaka, kekuasaan negara yang berada di tangan kaum ningrat tetap digunakan sebagai alat untuk memeras dan menindas kaum budak , seperti halnya pada tahapan sebelumnya . Namun, pada periode negara ini sudah tidak memperbolehkan para majikan untuk memperjual belikan budak mereka sesuai dengan kebutuhan majikan.

Pada tingkat keempat , kuasa negara mulai bergeser ke tangan para kaum kapitalis dan tuan tanah. Pada periode ini , keberadaan negara dijadikan sebagai alat penindas oleh kaum kapitalis terhadap para buruh tani. Disamping itu , alat alat atau badan kuasa negara sudah semakin kompleks. Selain keberadaan birokrasi , militer , polisi , mahkamah , penjara dan Algojo , Tan Malaka juga menilai bahwa kaum kapitalis juga memiliki alat batin (seperti surat kabar, gambar hidup, sekolah, dan gereja) yang dapat digunakan untuk meracuni pemikiran dan jiwa kaum proletar.

Sedangkan pada tingkat kelima , yakni mastyarakat sosialis , keberadaan negara sebagai penindas belum sepenuhnya bisa hilang dalam kehidupan masyarakat. Pada periode ini menurut Tan Malaka , kuasa negara menjelma menjadi kuasa kaum proletar atau disebut dengan “dictator proletaria”. Kuasa negara yang dipegang oleh dikatator lebih digunakan sebagai alat untuk mendikte atau mensosialisasikan dasar dasar pertumbuhan komunisme, meruntuhkan sisas sisa kapitalisme dan feodalisme, serta mempertahankan negaranya agar tidak diambil alih elh kekuatas kekuatan kapitalisme dan feodalisme”


  • Narasi yang dipergunakan memberikan informasi tentang setiap persitiwa dibawakan secara kronologis dan lengkap, berikut saya kutip dari beberapa pargraf yang merupakan narasi


“Untuk menaksir sifat, tujuan akibatnya pada perjanjian Linggarjati yang ditanda tangani pada tanggal 25 MAret 1947 dan perjanjian Renville yang ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, maka kita perlu memperhatikan kondisi saat kedua perjanjian diadakan

Seandainya kedua perjanjian itu diadakan dalam suasana damai , sebagai suatu penyesalan  dari pihak imperialisme Belanda terhadap rakyat Indonesia , maka kedua perjanjian itu dapat dianggap sebagai salah satu kemajuan bagi perjuangan politik rakyat Indonesia. Namun , kalau diperhatikan , kedua perjanjian itu dibentuk dalam suatu suasana dimana rakyat Indonesia sedang membela kehormatan negaranya. Oleh karena itu, Kata Tan Malaka, kedua perjanjian itu berarti suatu kesalahan besar dan bahaya yang tidak terhingga bagi kemerdekaan rakyat Indonesia .

Menurut perjanjian linggarjati , wilayah dan 20 juta rakyat Indoensia secara de facto dibagi menjadi Jawa-Sumatera. Yang tidak kurang pentingnya ialah kenyataan bahwa dengan pengakuan mahkota Belanda, Kadaulatan dibagi – bagi dan dipindahkan ke bangsa asing , Walaupun sementara waktu, Akhirnya , Menurut pasal 14 Linggarjati akan berdampak kelak dapat mengembalikan pengakuan dan pengembalian Indonesia sebagai hak milik Belanda. Sehingga , kekuasaan politik rakyat Indonesia akan menjadi fatamorgana.

Perjanjian linggarjati hanya mengembalikan penjajahan Belanda atas Indonesia dalam bentuk baru. Anehnya pemerintah Indonesia mengaangapnya sebagai keberhasilan diplomasi. Seandainya 9 pasal usul Indonesia diganti dengan 17 pasal usul belanda , baru itu dikatakan sebagai diplomasi yang berhasil

Diplomasi yang benar menurut Tan Malaka, jika kedua negara sama sama merdeka 100% dalam menentukan kesepakatan kesepakatan. Sehingga dengan ikatan perjanjian kemerdekaan 100% secara tidak timpang sebelah itu, kedua negara sama sama dapat menabung x% untuk suatu keuntungan y% secara setara. Sayangnya , perjanjian tersebut malah merugikan Indonesia”


  • Penggunaan ekposisi memberikan informasi yang jelas dan objektif, saya belum bisa memberikan kepastian lengkap atau tidak, karena masih banyak hal yang harus saya pelajari untuk mengetahui lengkap atau tidanya informasi yang disampaikan pada buku ini. Berikut kutipan paragraph ekposisi dari buku ini yang saya ambil:


“setiap manusia baik masyarakat kota ataypun pedalaman pada dasarnya meiliki potensi yang sama unutk mengembangkan diri dan berdialetika dengan lingkungan sekitar nya , sehingga terbentuk sebuah karakter kultur yang khas, artinya pada setiap kebudayaan terbentuk akibat proses dialetika antara faktor internal (potensi) dengan faktor ekternal (lingkungan)

Akan tetapi revolusi lebih menekankan aspek eksternal sebagai pendorong utama unutk proses pembentukan kebudayaan manusia. Penekanan semacam itu pula yang dianggap oleh para antropolog sebagai kelemahan teori evolusi . penekanan faktor pendorong ekstrenal mengakibatkan pengabaian terhadap aspek internal , Hal itu tampak pula dalam teori yang dgunakan Tan Malaka


  • Argumentasi yang dipergunakan didukung oleh data, fakta dan alasaan yang menyakinkan, berikut saya berikan kutipan beberapa paragraf argumentasi


Alasan terpenting Tan Malaka menerima usulan pencalonan tersebut adalah supaya dirinya meiliki banyak kesempatan untuk mempropagandakan kondisi miris yang dialami masyarakat dalam menghadapi kesewenangan kenangan pemerintah belanda . maksud propagandanya tersebut mendorong CPH agar memberikan bantuannya kepada bangsa Indonesia dalam berjuang melawan Imperialisme


  • Pada buku ini hanya berbentuk ilustrasi dengam mengambil sampel contoh dalam bentuk tulisan, tidak ada ilustrasi dalam bentuk visualisasi gambar, buku ini hanya memberikan ilustrasi yang mendukung konsep atau gagasan penulis berupa kutipan tulisan-tulisan Tan Malaka mengenai pengalaman dan cerita kisah hidupnya.
  • Penulis hanya berperan sebagai pengamat dalam sajian buku ini. Informasi-informasi terkait pengalaman dan kisah hidup Tan Malaka yang dimuat di dalamnya penulis dapatkan dari Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan beberapa buku, artikel serta esai. Meskipun penulis tidak terlibat langsung dalam kehidupan Tan Malaka, namun penulis mampu memberikan ilustrasi yang cukup jelas terkait kehidupan tokoh utama, Tan Malaka.
  • Buku ini dapat dibilang memotivasi, tetapi untuk meciptakan perasaan termotivasi itu tergantung dari pribadi sang pembaca, jika dia mempunyai skill di bidang yang sama dengan penulis, maka buku ini smempunyai nilai motivasi yang tinggi, tetapi untuk awam, sepertinya tidak akan termotivasi, karena persoalan yang dibahas memang cukup rumit dan susah dimengerti .
  • Kepustakaan yang dipergunakan kurang mutakhir dan relevan, karena tidak memuat uraian sitematis tentang kajian literatur melainkan hanya memasukkan kutipan tulisan sang tokoh utama yang tidak disertai dengan authornya. 
  • Tidak ada indeks dan glosarium dalam buku ini. 


Bahasa


  • Buku ini sudah menggunakan kaidah kaidah bahasa yang baik dan benar begitu juga unsur unsur kalimatnya tetapi ada beberapa tanda baca yang memang keliru, disana terdapat koma sebelum kata “dan”. Penggunaan koma (,) sebelum kata “dan” hanya diperbolehkan jika kalimat tersebut merupakan kalimat yang diperbolehkan menggunakan tanda koma (,) sebelum kata “dan” sesuai aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu masih ada pemborosan kata seperti kata berulang, sehingga kalimat menjadi kurang efektif.
  • Masing masing paragraf memiliki gagasan pokok serta diberikan kalimat pendukung, jadi meskipun kita belum selesai membaca, atau merasa lelah membaca tulisan yang banyak, maka dengan kita tahu gagasan pokoknya, kita sudah dapat mengambil maksud dari paragraf tersebut.
  • ·         Pemilihan kata, panjang dan susunan kalimat sudah sesuai dengan kemampuan membaca sasaran. Bahasa yang digunakan dalam kalimat-kalimat di buku ini cukup mudah dipahami dan dimengerti karena tidak banyak menggunakan istilah-istilah yang tinggi.


Evaluasi

  • Tema buku ini menarik, melihat judul bukunya saja sudah menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca, karena buku ini menceritakan pengalaman, perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran emas Tan Malaka dalam konteks keindonesiaan yang cukup memotivasi pembaca.
  • Dengan adanya informasi yang lengkap dari buku ini, pembaca akan tertarik untuk menjadikan buku ini sebagai referensi atau pacuan untuk membuat penelitian baru .
Keunggulan
  1. Isi buku ini menceritakan sangat detail tentang metamorfosa PLN, road map, perubahan Ideologi pemerintah, Undang undang, dan berbagai pandangan, serta lampiran lampiran data dari seminar ketahanan energi nasional
  2. Penyajian juga disajikan dengan detail dan konkrit, semua dibahas / disajikan dengan fakta fakta yang ada, terbukti dengan adanya lampiran undang undang dan hasil seminar seminar ketahanan energi nasional di berbagai instansi
  3. Untuk bahasa , dilihat dari segi analisa penelitian , bahasa yang digunakan sangat cocok.
Kelemahan
  1. Isi buku ini terlalu banyak data yang tidak membuat nyaman para pembaca, mood dari pembaca berbeda beda, ada yang suka terhadap kelengkapan data seperti pasal dan undang undang.
  2. Dalam penyajian menurut saya tidak ada kelemahan
  3. Untuk bahasa , dilihat dari segi hobi , bahasa yang digunakan sulit untuk dimengerti , karena menggunakan bahasa tingkat tinggi/bahasa penelitian
  4. Rekomendasi terhadap buku ini yaitu alangkah lebih baik jika penulis memperhatikan gaya bahasa untuk semua kalangan, boleh saja data dan fakta banyak, tetapi untuk sebuah buku yang sudah lepas di pasar, baiknya dari isi, penyajian dan bahasa dibuat secara umum / dapat dimnegerti oleh semua kalangan.
Kesimpulan

Dari tebalnya buku yang saya baca ini, ada beberapa bab yang menarik hati. Di Deli, menceritakan kondisi kuli kontrak yang merana, ditekan di bawah kaki tuan-tuan kebun yang kejam. Laporan Tan 90 tahun lalu ini, sangat mengiris hati. Berikut ini saya kutip apa yang Tan tulis : “Deli penuh dengan lanterfanters dan schiemiels Belanda. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras. Inilah gambaran borjuis gembel di Deli. Mereka dapat lekas kaya, karena gaji besar dan mendapat bagian tetap dari keuntungan, apabila telah bekerja setahun saja. Kalau tidak salah, selain gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bagian keuntungan f 200.000. Tuan maskapai malah lebih dari itu, mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur beberapa maskapai, dari bunga modal yang ditanamnya, tetap juga menerima bagian yang lebih besar lagi dari keuntungan kebun. Tuan maskapai adalah pemegang andil yang terbesar, tetapi tidak bekerja, dan biasanya berada di tempat yang jauh, tamasya keliling Eropa. Yang kaya cepat bertambah kaya. Inilah impian kosong schiemels Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli, di kamar bola di depan gelas bir dan wiskinya.

Kelas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, kelas yang mendapat upah hanya cukup untuk pengisi perut dan penutup punggung, kelas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di-godverdomi atau dipukul. Kelas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro-tuan, adalah kelasnya bangsa Indonesia yang terkenal sebagai kuli kontrak. Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya harus bangun pada pukul 4 pagi, karena kebun tempat mereka bekerja letaknya jauh. Pukul 7 atau 8 malam mereka baru tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0,40 sehari. Makanan biasanya tidak cukup untuk bekerja keras, mencangkul di tempat panas delapan sampai 12 jam sehari. Pakaian pun cepat rusak karena sering bekerja di hutan.

Kekurangan dalam segala-galanya, menimbulkan keinginan untuk mengadu nasib dengan bermain judi, nafsu yang sengaja diciptakan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah berjudi biasanya lebih banyak daripada yang menang. Yang kalah diizinkan berutang. Karena terikat utang, maka 90 dari 100 kuli yang habis masa kontraknya, terpaksa memperpanjang kontraknya lagi. Utang menimbulkan keinginan berjudi dan perjudian menambah utang terus-menerus.” Demikian laporan Tan yang menceritakan kondisi yang timpang dalam perkebunan Deli, Sumatera Timur.

Suasan perkebunan Deli untuk penanaman tembakau. Berduyun-duyun kuli kontrak didatangkan Belanda ke daerah ini. Mereka yang terbanyak berasal dari Jawa, India, dan Tiongkok. Pada mulanya hanya kuli-kuli Tionghoa yang mengisi perkebunan ini. Namun seiring berjalannya waktu, Belanda kesulitan untuk mendatangkan kuli-kuli asal Tiongkok ini. Sebagai penggantinya, maka kuli-kuli Jawa-lah dan kemudian India yang dipilih untuk bekerja disini. Selama 1,5 tahun Tan berada di Deli, macam-macam saja kejadian yang berlaku. Tak kurang seratus sampai 200 tuan-tuan Belanda mati di bacok kuli. Kejadian ini didasarkan karena timpangnya peri kehidupan mereka. Di Deli, lanjut Tan, jelas sekali pertentangan kelas, antara Belanda-kapitalis-penjajah dengan Indonesia-kuli-jajahan.

Di bab ini pula, kita akan membaca bagaimana kuatnya prinsip Tan yang tak pernah mau membungkuk kepada siapapun, termasuk tuan-tuan Belanda yang mempekerjakannya. Sewaktu sekolah di Belanda-pun, Tan akan naik pitam jika ada anak-anak Belanda yang mengolok-oloknya sebagai inlander. Tak salah kalau Bung Hatta menjuluki Tan sebagai orang yang berpunggung lurus. Berikut sedikit saya ambil cerita Tan sewaktu menjadi pelajar di Belanda. “Pengalaman saya di Belanda di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan olah raga, jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan. Kalau dia di jalan raya memanggil vuile Neger ataupun water Chinees, lalu kita menghampiri dan bertanya, “apa kamu bilang? sebutkan sekali lagi” sambil siap sedia, maka 99 dari 100 kejadian, dia akan berkata: “niets, meneer” atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda sedikit saja tersinggung, memaki kita, jangan sekali-kali makiannya itu dibalas dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula “Groote bek opzetten”. Hantam saja, tetapi secara sportif ! Pasti dia akan menjadi lebih sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya, Belanda jangan sekali-kali dikasih hati.” Begitu cerita Tan Malaka ketika sekolah di Belanda dulu. Masih di bab ini, kita akan melihat lagak gaya Tan, mencemeeh petinggi-petinggi Belanda, dengan gaya sindiran khas Minang yang populer itu. Bab di Deli ini ditutup dengan ressign-nya Tan Malaka dari Senembah Mij, perusahaan perkebunan tempat ia ditugaskan Dr. Janssen, untuk membuat sekolah bagi anak-anak kuli.

Selain itu tangkap Buang I, yang berkisah tentang sekolah rakyat kedua yang didirikannya di Bandung. Dari bab ini kita akan melihat bahwa Tan adalah seorang pendidik yang pandai. Dalam perjuangan membebaskan bangsanya, ia tak hanya pandai berretorika. Tapi juga menebar ilmu pengetahuan, yang menurut keyakinannya, bahwa kelak pendidikanlah yang akan mengantarkan bangsa ini menuju pintu kemerdekaannya. Atas tindakannya membangun sekolah rakyat itu, Tan dianggap sebagai musuh berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pengetahuan Tan Malaka. Selain penikmat buku-buku filsafat dan politik, ternyata Tan juga seorang pecandu buku-buku sejarah. Pada bab ini, Tan malah mengkritik pola penulisan sejarah Indonesia, yang menurutnya hanya berdasarkan khayalan dan dongeng-dongeng belaka. Di nomor 5, yang berjudul Kerajaan Malaka Tinggal Kenangan, Tan berceloteh panjang mengenai riwayat kerajaan ini, dari kemunculannya hingga penaklukan oleh imperialis Portugis. Analisa Tan mengenai kejatuhan Malaka, bukanlah disebabkan oleh kalahnya persenjataan dan strategi orang-orang Melayu, namun dikarenakan adanya perpecahan serta sokongan pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang membantu Portugis untuk menaklukkan Malaka.

Masyarakat Tiongkok di Singapura, Berikut saya petik analisa Tan mengenai kejatuhan kerajaan Malaka. “Dari sumber Barat kita dapat mengetahui bahwa teknik Portugis di masa itu pada dasarnya tak seberapa melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. Menurut sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membikin bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia. Perbedaan teknik Portugis dan Malaka, cuma terdapat dalam perbedaan kekuatan senjata itu saja. Meriam Portugis, dapat menembak lebih jauh daripada meriam Malaka ! Memang perbedaan kekuatan ini menimbulkan satu handicap (rintangan) di pihak Malaka, tetapi rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. Demikianlah berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan ! Tetapi riwayat kemenangan yang berkali-kali terdapat di laut itu, kita baca sesudahnya kota Malaka ditinggalkan. Tetapi bagi saya, armada, tentara, dan strategi Portugis belum tentu sekali dapat mengalahkan armada, tentara, dan strategi Malaka, kalau yang tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis ? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang berasal dari Aceh menghalaukan armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya, dan memotong jalan Portugis ke Maluku mencari barang dagangan yang penting ?

Pokok sebab yang menaklukkan kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali, prajurit laut Portugis pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak mendapat pertolongan ratusan jung Tionghoa yang berada di pelabuhan Malaka. Kedua, boleh dikatakan tak ada kerjasama antara armada Adipati Unus dari Jepara dengan armada Malaka. Ketiga, tipis sekali kerjasama antara pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni di bawah Patih Utimutis dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah sultan pada peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka. Keempat, perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud, yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak, menjadi alat adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka sendiri.” Demikianlah uraian analisa Tan Malaka mengenai kejatuhan kerajaan Malaka.

Masih di bab ini pula, Tan menceritakan bagaimana tukar alihnya jumlah populasi bangsa Melayu di Semenanjung Malaysia dan Singapura, dengan bangsa tetamu dari Tiongkok dan India. Pada masa-masa perjalanan Tan di Semenanjung dan Singapura, Tan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kapitalis Inggris telah memasukkan lompen proletar asing, orang lontang-lantung dari Tiongkok, atau para penjahat yang dikejar pemerintah Tiongkok, masuk dan berkuli di kebun-kebun orang Melayu. Masuknya orang-orang Tionghoa dan Keling ke Malaysia dan Singapura, telah mengubah persentase populasi etnis di negeri ini. Bangsa Melayu yang sebanyak dua juta orang, telah dilampaui oleh etnis pendatang dari Tionghoa yang lebih dari dua juta, serta ditambah lagi oleh orang Keling sejumlah satu juta jiwa. Di sini pulalah cerita bersambung kepada tingkah laku Sultan Hussein, seorang gila yang ditolak di Johor untuk menjadi raja, menjual Singapura kepada Raffles seharga $ 60.000.

Begitulah sedikit kisah Tan Malaka dari bukunya ini, yang banyak dibaca oleh aktivis-aktivis pergerakan di Indonesia dan Malaysia. Tak dapat lagi saya membendung rasa haru, mengingat tulisan ini dibuatnya di dalam penjara, di bawah pengejaran tentara Republik yang menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan. Bagi Anda pecinta sejarah, buku karya Tan Malaka ini layak dibaca, ataupun menjadi koleksi perpustakaan pribadi.

Daftar Pustaka
Ali Fakih, Abraham, 2015. Dari Penjara ke Penjara. Yogyakarta: PALAPA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 comments:

Muhamad Bintang said...

ijin bang kenapa gk bisa dicopy

Post a Comment