Tugas- Resensi Buku Konspirasi Penjualan PLN Ke Asing


KONSPIRASI PENUALAN PLN KE ASING

Pendahuluan

Ahmad Daryoko adalah seseorang penulis alumni SMAN Negerei 1 Kota Magelang, Jawa Tengah, 1972. Setelah menamatkan SMA kemudian melanjutkan studi ke fakultas teknik sipil hydro, Univesitas Gajah Mada, Yogyakarta, Setelah melalang buana di antaranya ke proyek survey sungai cimanuk fakultas teknik UGM, pembantu Dekan III Fakultas tenik Universitas Negeri Tidar Magelang (saat itu masih swasta) serta terakhir sebelum masuk PLN sempat diterima sebagai dosen di fakultas teknik Universitas Diponegoro tetapi hanya tiga bulan, karena kemudian terpanggil untuk mengabdikan diri ke PLN proyek PLTA Cirata, jawa barat pada awal tahun 1984. Setelah selesainya Proyeknya PLTA Cirata , pada 1999 kemudian pindah ke PLN Pusat sebagai staff Divisi Hydro, Divisi Umum dan Direktorat Niaga sebelum akhirnya menjabat sebagai Project Director Proyek PLTU Tanjung Awar-Awar yang merupakan bagian dari proyek Percepatan Pembangunan PLTU 10.000 MW, dan memasuki masa purna tugas pada tahun 2009.

Sehubungan kebijakan pemerintah yang mengijinkan agar setiap BUMN ada serikat Pekerja, maka dipercaya pula sebagai Sekertaris Jendral antara 1999-2003 yang kemudian menjadi ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (PERSERO). Dan mengingat dipercaya pula sebagai ketua umum federasi serikat pekerja BUMN strategis ( PLN, TELKOM, PERTAMINA, TELKOMSEL, INDONESIA POWER, PJB dan GARUDA INDONESIA) maka pada tahun 2011 terpilih sebagai Presiden Serikat Nasional (Gabungan BUMN dan SWASTA)

Identitas Buku

Judul                 : Konspirasi Penjualan PLN ke ASING
Pengarang        : Ahmad Daryoko
Penerbit            : PT BAKTI INSAN GLOBALINDO
Tempat Terbit   : Bogor
Tahun Terbit     : 2015
Cetakan            : Pertama, April 2015
Ukuran             : 23  x 15 cm
Jumlah Halaman: 288
ISBN 978-602-72542-0-6                                  
Harga               : Rp 55.000
Gambaran isi buku

Judul                 : Konspirasi Penjualan PLN ke ASING
Bidang              : Infrastruktur Sektor Ketenagalistrikan PLN
Tema                : Infrastruktur Sektor Ketenagalistrikan yang terintegrasi dengan pemimpin yang visoner
Isi pokok           : Perubahan Status PLN dari Badan Usaha Penyedia Ketenagalistrikan dari hulu ke hilir , sekarang hanya menjadi perusahaan penyedia jaringan distribusi dan transmisi

Tulisan ini semula hanya akan difokuskan pada permasalahan SP PLN saja sebagai memori waktu  penulis ikut terlibat langsung sebagai jajaran pengurus, Namun , untuk membahas masalah privatisasi PLN ternyata banyak melibatkan pihak eksternal, baik terkait tokoh dan undang-undang, terlebih, kebijakan liberalisasi sector kenagalistrikan harus dilkaukan secara terbuka, agar masyarakat atau konsumen PLN tahu permasalahan ini

Bahan tulisan ini didaptkan dari bahan seminar seperti saat SP PLN bergerak untuk sosialisasi liberalisasi sector ketenagalistrikan antara tahun 2001-2009 diperguruan tinggi lain di Universitas Taman Siswa Padang, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Utara Medan, Universitas Tanjung Pura Pontianak, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Islam Sumatera Utara Medan, Univesitas Udayana Denpasar dan lain lain.

Buku ini juga merupakan hasil pembahasan di berbagai joint seminar ataupun diskusi terkait dengan kondisi PLN dan penerapan liberalisasi sector ketagalistrikan bersama Partai Bulan Bintang di Jakarta, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Rakyat Demokratik, Hizbut Tahrir Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Forum Umat Islam dan Ulama SeJabdetabek di Pondok Pesantren Darujannah dan lain lain.

Dan tentunya bahan sidang Mahkamah Konstitusi tahun 2003-2004 saat uji materi UU No 20/2002 maupun judicial review UU no 30/2009 tentang ketenagalistrikan yang berlangsung pada tahun 2009-2010 menjadi acuan penyusunan buku ini.

Sebenarnya langkah menyewakan pembangkit listrik ini adalah cara untuk menggiring PLN menjadi “service company”. Jadi Peran PLN akan dikerdilkan dengan hanya mengurusi distribusi dan transmisi listrik saja. untuk Pengelolaan pembangkit listrik diserahkan pada kalangan swasta, termasuk swasta asing.

Jadi rencana ini adalah bagaian dari “liberalisasi” di bidang energi dan listrik. peran pemerintah hanya di batasi sebagai regulator bukan lagi sebagai operator. Itu artinya segala pengelolaan sumber daya alam, energi termsauk di dalamnya pembangkit listrik, pengelolaanya di serahkan kepada swasta termasuk swasta asing, inilah yang sejatinya mengancam negeri ini, dan ini yang seharusnya di sadari oleh seluruh rakyat negeri ini dan di jadikan musuh bersama.

Sistem ekonomi memandang, barang yang menjadi milik umum (termasuk listrik) pengelolaanya akan di serahkan kepada negara demi kemaslahatan rakyat dan tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh swasta baik domestik apalagi asing. Dan untuk mekanisme distribusinya sepenuhnya diserahkan kepada para pemimpin. Dengan demikian, kebutuhan listrik didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan.

Barang publik juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat (berupa fasilitas seperti pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas umum lainya ) ataupun bisa di simpan di baitul mal (kas negara). Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara..

Sistem ekonomi memandang energi pada umumnya dan listrik khususnya merupakan kebutuhan pokok masyarakat. yang sudah seharusnya menjadi fokus utama negara, dan sudah sewajarnya diberikan perlakuan khusus seperti membangun unit berkualitas dan menjaganya agar tetap beroperasi dengan handal dan memiliki lifetime yang panjang.

Isi buku


  • Tujuan buku ini sangat jelas, untuk mengupas tuntas hal hal yang memang dirasa janggal dan diharapkan masyarakat mengetahui asal mula Infrastruktur Sektor Ketenagalistrikan PLN dari dahulu hingga sekarang
  •  Pembaca sasaran dalam buku ini adalah seluruh masyarakat Indonesia berbagai kalangan, bukan hanya kalangan ekonomi keatas, tapi juga menengah & kebawah karena dengan mereka membaca ini, mereka tidak hanya bisa berkomentar tanpa solusi, tapi mereka dapat mengeluarkan pendapat berdasarkan alur asal mula perkara yang ada, karena dampak dari masalah yang dibahas disini akan berakibat langsung ke masyarakat.
  •  Tema buku ini kurang menarik untuk kalangan awam, karena pembahasan yang terlalu rumit untuk dimengerti, tetapi akan sangat menarik bagi orang yang memahami atau bekerja di bidang kelistrikan
  •  Untuk pembaca sasaran dari buku ini diharapkan dapat menjadi suatu sumber untuk penelitian atau mungkin dapat dijadikan suatu contoh hal yang memang relevan dibidang lainnya
  • Data data pada buku ini terbukti kongkrit dan benar , pada buku ini dilampirkan bukti bukti dari undang undang serta hasil seminar ketahanan energi nasional yang telah dibahas di berbagai instansi
  •  Informasi pada buku ini cukup lengkap untuk mencapai tujuan penulis buku
  •  Hal yang baru dalam isi buku ini adalah pembicaraan para pengamat baru baru ini tentang undang undang yang dahulu telah dibuat , mereka menganalisa undang undang tersebut sesuai dengan arus kehidupan Indonesia pada saat ini.
  • Buku lain tidak mempunyai kelengkapan data seperti ini, karena yang membuat pun tidak terjun langsung ke lapangan, mereka memakai perantara orang lain, jadi masih terdapat ketidakpuasan dari pembaca
  • Kekurangan dari buku ini yaitu bahasa yang sulit dipahami oleh awam, buku ini terfokus pada kelengkapan data,  sehingga penyampaian ke pembaca apalagi awam sangat susah dimengerti, tetapi mungkin bagi orang yang memang dibidangnya merasa nyaman membacanya, berbeda dengan buku yang lain, mereka tidak mefokuskan pada kelengkapan data, mereka hanya memberi data yang vital saja, tidak spesifik tetapi kata kata yang dibawakan sangat mudah dipahami

Penyajian

  • Isi buku disajikan secara sistematis dan logis
  •  Bab 1 dan Bab 2 terdapat keterkaitan
  • Keterkaitan sub Bab 1 dan sub Bab 2 sebagai berikut:

            Bab 1
            -Putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Ketenagalistrikan No 001–021–022 / PUU-I /2003 (2004) Versus No 149 / PUU – VII / 2009 (2010)
           -  Mafia Berkeley dan Washhington Consesnsus
           -  Metamorfosa PLN
           -   Road Map PLN
           -   Lahirnya Power Sector Restructuring Program
           -   Perubahan Iedologi Pemerintahan
           -  Rencana Privatisi PLN
           -  Undang undang No 20/2002 tentang ketenagalistrikan
           -   Pandangan Internal PLN terhadap RUUK
            -   Pandangan pemerintah,DPR,PLN
Bab 2
           -  Perlawanan terhadap rencana privatisasi PLN dan liberalisasi ketenagalistrikan
           -  Rapat dengar pendapat di DPR RI
           -  Outsourcing PLN terkait rencana privatisasi
           -   Isi Tuntunan Uji Materi SP PLN terhadap UU no 20/2002
           -   Lampiran hasil Seminar Ketahan Energi Nasional

  •  Penulisan paragraph pada buku ini menggunakan teknik deskripsi, narasi, eksposisi serta argumentasi, semuanya ada, tergantung dalam masalah apa yang yang dihadapi, misalnya dalam pengungkapan fakta mafia Barkeley dan Washington Consesncus, disana menggunakan paragraph deskripsi dan ekposisi, karena menceritakan secara terperinci atau mendetil sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri serta Menjelaskan atau memaparkan tentang sesuatu dengan tujuan memberi informasi berdsarkan fakta yang ada.
  • Deskripsi yang dipergunakan cukup jelas dan masuk akal, saya mengutip paragraph yang menurut saya masuk akal berdasarkan masalah yang berada di gambaran isi buku, berikut kutipanya:

“Mengapa Wapres jusuf kalla membuat statement aneh yang mana PLN akan diubah statusnya Status PLN dari Badan Usaha Penyedia Ketenagalistrikan dari hulu ke hilir , hanya menjadi perusahaan penyedia jaringan distribusi dan transmisi, Apakah pemerintah memang akan melakukan privatisasi PLN dengan melawan konstitusi?”

  • Deskripsinya seperti dibawah ini:

Semuanya terjawab karena adanya LOL (Letter of Intent) yang ditanda tangani pada oktober 1997 poin 47 tentang structural reform sub (b) :

“Pemerintah RI akan mengambil langah untuk mendorong terjadinya kompetisi (pasar bebas) , dorongan ini bertujuan menaikan efisiensi , dengan cara ini , diharapkan ada perbaikan pasokan produk ke konsumen. secara parallel, dengan usaha menaikan efisiensi sector swasta dan terjadinya kompetisi, pemerintah akan membuat evaluasi terhadap biaya pengeluaran yang dipakai ntuk mendukung nvestasi maupun layanan public (seperti PLN) dalam rangka efisiensi penggunaan uang pemerintah. Evaluasi ini dilakukan dengan kolaborasi bersama World Bank termasuk penegluaran dari pemerintah pusat, BUMN, dan industri strategis, Evaluasi akan selesai dalam waktu 6 bulan dan akan menyajikan program yang komprehensif untuk perbaikan efisiensi keuangan dan restrukturisasi BUMN dan Industri strategis, Ini semua akan dijadikan sebagai basis percepatan pelaksanaan privatisasi"

“Dengan target terjadinya pasar bebas ketenagalistrikan dan privatisasi PLN di jawa-bali (sebagai tahap awal) dengan unvundling vertical dan penyerahan ketenagalistrikan ke pemda untuk PLN di luar jawa-bali dalam progam Regionalisasi . Dengan demikian wajarlah bila wakil presiden jusuf kala saat membuka Munas Masyarakat elistrikan Indonesia pada kamis 12 Maret 2015 lalu di PLN pusat, menyatakan bahwa Status PLN dari Badan Usaha Penyedia Ketenagalistrikan dari hulu ke hilir , sekarang hanya menjadi perusahaan penyedia jaringan distribusi dan transmisi. Tapi perlu diingat , bahwa sikap jusuf kalla sebagai wapres akan menerapkan UU no 20/2002 tentang ketenagalistrikan tersebut adalah melawan konstitusi, karena UU no 20/2002 tersebut sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004”

  • Narasi yang dipergunakan memberikan informasi tentang setiap persitiwa secara kronologis dan lengkap, berikut saya kutip dari beberapa pargraf yang merupakan narasi

“Setelah ditandatangani Letter of Intent (LOL) induk pada tanggal 31 Oktober 1997 oleh presiden soeharto, maka ideology berubah menjadi liberlais yang kemuadian ditengarai sebagai sarana untuk mendukung program kapitalisme Global yakni kekuatan kapitalis internasional yang terdiri dari para investor sector ketenagalistrikan, Latar belakang perubahan sikap pemerintah atas sector ketenagalistikan ini juga dialami oleh sector ekonomi yang lain, seperti perbankan, keuangan, migas, mineral, batu bara, dll, tidak terlepas dari konsekuensi logis letter of intent diatas. Sedang latar belakang penandatanganan LOL oleh presiden seharto tersebut tidak luput dari tack record rezim orde baru. Selama lebih dari 30 tahun, saat terjadi krisis ekonomi di Asia Tenggara pada tahun 1997, Indonesia trekena dampak plaing parah akibat politik hutang luar negeri tersebut”

  • Penggunaan ekposisi memberikan informasi yang rinci, jelas dan objektif, saya belum bisa memberikan kepastian lengkap atau tidak, karena masih banyak hal yang harus saya pelajari untuk mengetahui lengkap atau tidanya informasi yang disampaikan pada buku ini. Berikut kutipan paragraph ekposisi dari buku ini yang saya ambil:

“Cikal bakal kelistrikan di Indonesia adalah dari nasionalisasi perushaan listrik belanda seperti NV, ANIEM, NIGM,GEBEO,EBAOM yang saat itu berkapasitas terpasang 157,5 MW. Kemudian pada tanggal 27 Oktober 1945, Presiden Soekarno dari nasionalisasi perusahaan listrik tersebut meresmikan dibentuknya jawatan Listrik dan Gas Negara. Selanjutnya , pada tahun 1961 berubah menjadi Badan Pimpinan Umum Perushaan Listrik Negara, dan pada 1 Januari 1965 berubah nama menjadi perusahaan listrik Negara dengan memiliki pembangit dengan kapasitas terpasanag 300 MV. Kemudian pada tahun 1972 PLN ditetapkan sebagai perusahaan umum (PERUM) Listrik Negara melalui peraturan pemerintah No 18/1972. Perum Listrik Negara kemudian menjadi PT PLN (PERSERO) pada tahum 1994, dengan latar belakang perubahan adalah unutk menyesuaikan perkembangan zaman serta agar lebih fleksibel dalam mencari pendanaan.. Dengan adanya UU no 19/2003 tentang BUMN serta adannya UU no 40/2007 tentang perseroan terbatas (PT) , PLN tidak lagi sebagai penyedia infrastruktur listrik atau sebagai PSO yang berorientasi Sosial, tetapi dibebani juga misi mencari keuntungan atau menjadi sebuah entitas bisnis, PLN pada awal tahun 2012 mempunya pegawai sebanyak 49.800 orang, sedangkan kapasitas pembangkit yang dimiliki adalah 28.500 MW dan masih membeli listrik dari sejumlah Independent Power Producer (IPP) atau pmbangkit swasta sebesar 3500 MW.”

  • Argumentasi yang dipergunakan didukung oleh data, fakta dan alasaan yang menyakinkan, berikut saya berikan kutipan beberapa paragraph argumentasi

Mengenai kebijakan restrukturisasi sector ketenagalistrikan Bapak Kuntoro Mangkusubroto (Menteri Pertambanganan dan energy Republik Indonesia) mengemukakan pendapatnya :

Menyadari pentingnya bahwa tenaga listrik merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi perbaikan taraf hidup rakyat dan pembangunan ekonomi nasional, maka Pemerintah selalu meberikan prioritas yag tinggi dalam pembangunan sektor ketenagalistrikan

Pemerintah telah menyusun kebijakan Restrukturisasi Sektor ketenagalistrikan untuk dapat menjawab tantangan-tantangan dari krisis ekonomi yang ada sekarang ini dan meletakan dasar yang lebih baik lagi bagi perkembangan sektor ini dimasa mendatang. Visi yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah membentuk sektor ketenagalistrikan yang mampu berkembang pesat, mampu menyediakan tenaga listrik yang efisien dan berkualitas tinggi sehingga memberikan manfaat bagi konsumen serta mandiri secara finansial

Empat tujuan restukturisasi adalah pemulihan kelayakan keuangan, kompetisi, transaparasi, serta partisipasi swasta yang efisien. Program restrukturisasi akan meliputi 6 bidang utama sebagai berikut : (1) Restrukturisasi industry (2) Pengenalan Kompetisi (3) penetapan tarif, pengembalian biaya (4) Rasionalitas dan ekspansi partisipasi swasta (5) Redefinisi peran pemerintah (6) Memperkuat kerangka hokum dan pengaturan. Kebijakan restrukturisasi akan dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun sesuai dengan sebuah jadwal yang realistis dan dikonsultasikan dengan pihak pihak yang terkait.

Langkah awal dari restrukturisasi di sektor ketenagalistrikan adalah pemecahan secara geografis usaha penyediaan tenaga listrik. DI sektor ketenagalistrikan yang lebih berkembang, usaha penyediaan tenaga istriknya juga akan dipecah menjadi usaha pembangkit, transmisi dan distribusi. Kompetisi akan menjadi usaha pembangkit , transmisi dan distribusi. Kompetisi ajan diperkenalkan dans ebuah badan pengatur yang independen akan dibentuk.

Pemerintah mempunyai keyakinan bahwa kebijakan restrukturisasi yang baru ini akan mampu membawa sektor ketenagalistrikan menjadi sektor yang efisien, mempu berkembang secara pesat dan berkesinambungan, serta mampu menyediakan tenaga listrik yang berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau untuk memberikan manfaat kepada konsumen

  • Pada buku ini hanya berbentuk ilustrasi dengam mengambil sampel contoh dalam bentuk tlisan, tidak ada ilustrasi dalam bentuk visualisasi gambar, buku ini hanya memberikan dokumentasi dari serikat pekerja PLN di akhir halaman dan menurut saya itu hanya bersifat pelengkap saja, dokumentasi tersebut tidak menjelaskan konsep konsep dalam bentuk tulisan yang telah dibahas.
  •  Latar belakang penulis dalam sisi penyajian buku ini sangatlah mempunyai korelasi yang baik, karena sang penulis lah yang terjun langsung ke lapangan, jika tidak terjun langsung, dia mempunyai banyak relasi dari teman teman nya yang bisa dibilang berkompeten di bidang yang ingin dia gali informasinya, sehingga terbukti ia sangat memahami alur dan konsep dari buku ini
  • Buku ini dapat dibilang memotivasi , tetapi untuk meciptakan perasaan termotivasi itu tergantung dari pribadi sang pembaca, jika dia mempunyai skill di bidang yang sama dengan penulis, maka buku ini smempunyai nilai motivasi yang tinggi, tetapi untuk awam, sepertinya tidak akan termotivasi, karena persoalan yang dibahas memang cukup rumit dan susah dimengerti .
  • Kepustakaan yang dipergunakan mutakhir dan relevan, karena memuat uraian sitematis tentang kajian literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan serta menunjukkan kondisi mutakhir dari bidang ilmu tersebut (the state of the art) .
  • Tidak ada indeks dalam buku ini, tetapi ada glosarium dan ini sangat membantu saya dalam memahami bacaan, meskipun tidak lengkap, glosarium ini saya kira sudah cukup membantu.

Bahasa

  • Buku ini sudah menggunakan kaidah kaidah bahasa yang baik dan benar begitu juga unsur unsur kalimatnya tetapi ada beberapa tanda baca yang memang keliru, disana terdapat koma sebelum kata “dan”. Penggunaan koma (,) sebelum kata “dan” hanya diperbolehkan jika kalimat tersebut merupakan kalimat yang diperbolehkan menggunakan tanda koma (,) sebelum kata “dan” sesuai aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu masih ada pemborosan kata seperti kata berulang, sehingga kalimat menjadi kurang efektif.
  • Masing masing paragraph memiliki gagasan pokok serta diberikan kalimat pendukung, jadi meskipun kita belum selesai membaca, atau merasa lelah membaca tulisan yang banyak, maka dengan kita tahu gagasan pokonya, kita sudah dapat mengambil maksud dari paragraph tersebut.
  • Pemilihan kata , panjang dan susunan kalimat sudah sesuai dengan kemampuan membaca sasaran. Tetapi akan sangat membosankan bagi awam, karena bahasa yang digunakan sudah tingkat tinggi dalam ilmu pendidikan

Evaluasi

  • Tema buku ini menarik, melihat judul bukunya saja sudah menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca, karena jarang sekali ada buku yang memang membahas fakta dibalik layar suatu instansi
  •  Dengan adanya informasi yang lengkap dari buku ini, pembaca akan tertarik untuk menjadikan buku ini sebagai referensi atau pacuan untuk membuat penelitian baru
  • Keunggulan
  1. Isi buku ini menceritakan sangat detail tentang metamorfosa PLN, road map, perubahan Ideologi pemerintah, Undang undang, dan berbagai pandangan, serta lampiran lampiran data dari seminar ketahanan energi nasional
  2. Penyajian juga disajikan dengan detail dan konkrit, semua dibahas / disajikan dengan fakta fakta yang ada, terbukti dengan adanya lampiran undang undang dan hasil seminar seminar ketahanan energi nasional di berbagai instansi
  3.  Untuk bahasa , dilihat dari segi analisa penelitian , bahasa yang digunakan sangat cocok.

  • Kelemahan
  1. Isi buku ini terlalu banyak data yang tidak membuat nyaman para pembaca, mood dari pembaca berbeda beda, ada yang suka terhadap kelengkapan data seperti pasal dan undang undang.
  2. Dalam penyajian menurut saya tidak ada kelemahan
  3. Untuk bahasa , dilihat dari segi hobi , bahasa yang digunakan sulit untuk dimengerti , karena menggunakan bahasa tingkat tinggi/bahasa penelitian
  4. Rekomendasi terhadap buku ini yaitu alangkah lebih baik jika penulis memperhatikan gaya bahasa untuk semua kalangan, boleh saja data dan fakta banyak, tetapi untuk sebuah buku yang sudah lepas di pasar, baiknya dari isi, penyajian dan bahasa dibuat secara umum / dapat dimebgerti oleh semua kalangan.

Kesimpulan

Pada buku ini terdapat permasalahan mendasar bangsa Indonesia , yaitu permasalahan karakter pragmatis yang telah merambah keseluruh jenjang strata social dari rakyat biasa sampai ke pucuk para pemimpin bangsa, dengan kondisi sebagaimana yang telah dijelaskan tadi, belanda yang semula hanya berniat berdagang , akhirnya dengan politik devide et impera berhasil merubah misi dagang menjadi penjajah secara fisik dna berlangsung selama 350 tahun

Perlawanan para pejuang untuk mengusir penjajah selalu gagal karena ibaratnya satu orang melawan , sepuluh orang yang lain tega “menikam” dari belakang demi mengejar rente dari penjajah, perlawanan terhadap penjajah baru berhasil setelah dilakukan strategi campuran antara perlawanan secara fisik dan secara intelektual yaitu politik deplomasi internasioanl

Dengan perubahan strategi sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dari Negara Negara jajahan untuk mencapai kemerdekaannya , maka negara negara kolonial merubah strateginya dengan mendirikan lembaga keuangan dunia seperti International Bank of Reconstruction Development (IBRD) yang kemudian berubah menjadi world bank (WB) , Asian Development Bank (ADB) , nternational Monetary Fund (IMF), USAID dll, untuk melakukan kembali penjajahan yangbselama ini dilakukan secara fisik , Lembaga keuangan dunia tersebut terbentuk setelah terjadinya pertemuan negara negara kolonial di Washington pada 1994 yang terkenal dengan sebutan The Consensus Washington.

Selama pemerintahan Soekarno-Hatta dari 1945-1965, aksi penetrasi negara negara Barat dan Amerika untuk kembali menjajah Indonesia dengan strategi The Consesnsus Washington (penjajahan ekonomi melalui srategi “politik hutang”) tidak kunjung berhasil, karena rezim soekarno hatta menerapkan strategi TRI SAKTI dan BERDIKARI untuk menerjemahkan pancasila dan UUD 1945 . Dan setelah peristiwa berdarah 1965, saat soeharto berhasil menyingkirkan soekarno dan berkuasa selama 32 tahun dengan rezim orde barunya, maka amerika dan barat berhasil menguasai Indonesia dengan penerapan strategi hutang dan membuat ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap Asing (Amerika dan Barat). Apalagi setelah hutang luar negeri Indonesia mencapai $AS 132 Miliar (sekitar Rp 1400 triliun), maka IMF berhasil memaksa presiden soeharto menandatangani Letter of Intent (LOL, yaitu semacam surat pengakuan hutang disertai dengan komitmen pemerintah RI untuk melakukan kebijakan sesuai arahan IMF) pada oktober 1997 di depan Mizhel Camdessus; Managing Director of IMF.

Paralel dengan penerapan LOL ini , kemudian terjadilah amandemen UUD 1945 menjadi UUD Liberal 2002, yang secara esensial merubah ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berazazkan pancasila menjadi ideology liberal. Hal tersbut ditegaskan oleh pakar hokum tata negara prof Sahetapy SH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One tanggal 16 September 2014 malam.

Dengan dirubahnya UUD 1945 menjadi UUD Liberal 2002, maka seluruh undang undang ekonomi maupun politik berasaskan liberal, dianataranya UU no 30/2009 tentang ketenagalistrikan juga akan menerapkan liberalisasi tariff listrik khususnya di wilayah Jawa-Bali dengan terlebih dahulu menjual/meprivatisasi PLN jawa-Bali sesuai dengan PERPRES No 39.2014

Kelemahan bangsa Indonesia ada pada pribadi yang lemah dan pragmatis. Sehingga tidak ada daya juang dan kemandirian yang dibutuhkan sebagai syarat utama sebuah bangsa bila ingin maju, Dari pengalaman masa lalu, bukan berarti bangsa Indonesia sudah tertutup pintunya untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, modern dan mandiri, untuk itu sangat dibutuhkan pemimpin yang visioner dengan ideology etatisme yang dapat memajukan bangsanya, dimulai dengan kehadiran negara sebagai prime mover (penggerak utama) ekonomi yang berbasis pada cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga sektor ketenagalistrikan tetap dianggap sebagai Infrastruktur dan dipertahankan dalam vertically Integrated System atau secara vertical terintegrasi seperti saat ini

Di masyarakat mungkin bertanya-tanya, mengapa PLN selalu merugi terus? Jadi sebenarnya ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama: ada ‘kesenjangan’ dalam beberapa faktor, yakni antara biaya produksi dengan harga jual. Kalau bicara biaya produksi sangat di dominasi oleh pembangit-pembangkit yang bahan dasarnya minyak. Sementara, PLN membeli minyak ke Pertamina dengan harga komersial, bukan harga subsidi seperti kalau kita beli minyak untuk mobil kita dengan harga Rp. 4.300,-/liter. Jika harga BBM dunia saat ini mencapai $ 100/barrel maka PLN membeli dengan harga Rp. 7.000,- – Rp. 7.500 / liter. Kita masih menggunakan sekitar 36% pembangkit yang menggunakan berbahan bakar minyak. Sehingga biaya produksinya 38 – 40 triliun/tahun. Nah inilah yang menjadi mengapa PLN sangat merugi.

Pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak, per-kwh nya membutuhkan 1/3 liter minyak. Atau membutuhkan sekitar Rp 2.300,- / liter untuk menghasilkan 1 kwh. Sementara PLN menjualnya ke konsumen sebesar Rp. 620,- / kwh. Ini baru bahan bakar saja. Belum biaya administrasi, offerhad, pemeliharaan, transmisi, distribusi, dll. Bisa dilihat kesenjangannya.

Kedua: adanya inefisiensi ‘sistemik’. Kalau bicara inefisensi, sebenarnya tahun 80-an PLN sudah menyiapkan sebuah pembangkit yang bisa dioperasikan dengan bahan bakar gas dan minyak dimana bisa menghasilkan daya 7.500 Megawatt seluruh Indonesia. Pembangkit ini seharusnya dioperasikan pakai gas. Karena biayanya lebih murah. Kalau dioperasikan dengan gas maka hanya membutuhkan biaya 7 triliun/tahun. Gas saat ini tidak ada karena ada regulasi minyak dan gas yang ‘njomplang’ dimana sebagian besar justru di eksport ke luar negeri bukan untuk pasokan kebutuhan dalam negeri. Kalau pakai minyak, maka menghabiskan biaya 33 triliun/tahun. Jadi, gara-gara tidak ada gas maka menyebabkan inefisiensi sebesar 26 triliun/tahunnya. Ini inefisiensi yang paling kentara itu.

Ketiga: Masalah SDM. Kalau kita evaluasi SDM di PLN, maka adalah betul jika masih ditemui kelakuan dari SDM PLN yang tidak sesuai dengan aturan, seperti korupsi, mark up, manipulasi, dll. Saya pikir masih banyak juga. Namun, ini semua sangat tergantung pada ‘pembinaan’ instansi diatasnya. PLN kan punya atasan, Meneg BUMN sebagai pemegang saham. Juga mengikuti rambu-rambu yang dicanangkan oleh Menteri ESDM, kalau masalah keuangan mengikuti Departemen Keuangan. Kemudian permasalahan pengawasan jalannya kinerja, meskipun dalam pemikiran tidak tepat tetapi kenyataannya kita sering di panggil DPR, komisi VII. Dengan sekian banyak instansi diatas PLN, tetapi mereka dalam pembinaan tidak efektif. Bahkan saya lihat, mereka bukan membina tetapi malah membinasakan. Dalam artian, mereka semua ‘mengintervensi’ dalam konotasi negative. Artinya ngrecokin. Seperti halnya DPR kalau mengundang rapat dengar pendapat, ujung-ujungnya banyak oknum yang minta proyek. Nah, inilah yang membuat gak efisiensnya PLN itu. Bahkan banyak cost yang dihambur-hamburkan dalam rangka menjaga keseimbangan antara direksi PLN dengan instansi diatasnya tadi. Kesimpulannya adalah salah urus dalam energy primernya dan permasalah SDM.

Dengan berdasar kondisi diatas, bahwa PLN inefisien, PLN merugi, akhirnya pemerintah membuat suatu kebijakan-kebijakan yang kearah kapitalis. Jadi PLN menurut UU Kelistrikan No 20/2002, yang sudah almarhum itu, dengan alas an tidak efisien tadi maka arahnya PLN ini akan diswastakan. Ini agenda yang sudah terprogram ya… artinya sudah menjadi UU, yang sudah disetujui oleh DPR, Presiden, itu akan di swastakan. Ini bisa dilihat dalam pasal-pasal 8, 16, 17, 18, 19, 20 dari UU Kelistrikan. Jadi disana, pembangkit akan diswastakan, kemudian riteil juga diswastakan.

Kalau pembangkit diswastakan, perlu diketahui bahwa rata-rata, harga pembangkit yang paling murah adalah 5,5 triliun. Siapa yang bisa membelinya? Sebagai contoh saja adalah Indosat yang sekian persennya harganya adalah 5,5 triliun yang membeli kan temasek (Perusahaan Singapura-red). Kalau dalam prediksi saya, kalau pembangkit dijual maka pembelinya adalah asing atau pengusaha nasional yang sudah pasti berkolaborasi dengan asing juga.

Kondisi ini terkait dengan cara pandang pemerintah yang menghadapi permasalahan yang rumit ini dengan cara gampangan. Yaitu, sekarang sudah pusing mengoperasikan PLN ya… sudah saja dijual ke swasta habis itu hanya melihat. Alasannya, pertama kali menjual dapat fee, yang kedua, dalam operasionalnya toh tidak ada tanggung jawab terhadap masyarakat. Nah, ini yang akan terjadi di Jawa-Bali.

Daftar Pustaka
Daryoko, Ahmad, 2015. Konspirasi Penjualan PLN ke Asing. Bogor: PT Bakti Insan Globalindo

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tugas - Resensi Buku Dari Penjara Ke Penjara

Dari Penjara Ke Penjara

Pendahuluan

Abraham Ali Fakih alias Muhammad Ali Fakih ialah seorang penulis buku ini, ia lahir pada hari selasa 8 maret 1988 di Kerta Timur, Dasuk, Sumenep. Ia adalah Putra (alm) Asyikurrahman dan Ibu Rusipa. Pendidikan dasarnya ditempuh di kota kelahirannya, begipun pada jenjang menengah, kcintaannya pada ilmu pengetahuam sangat besar, Setelah menempuh pendidikan di beberapa lembaga di kota kelahirannya, ia kemudian merantau ke luar tanah kelahirannya.

Yogyakarta dipilihnya dalam pengembaraan intelektualnya. Abraham Ali Fakih melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) sunan kalijaga. Untuk aktivitasnya diluar akademik , ia bergiat di lembaga kajian kutub Yogyakarta (LKKY). Beberapa buku , artikel dan esainya telah terbit di sejumlah media local dan nasional

Identitas Buku

Judul                 : Dari Penjara Ke Penjara
Pengarang        : Abraham Ali Fakih
Penerbit            : PALAPA
Tempat Terbit   : Yogyakarta
Tahun Terbit     : 2015
Cetakan            : Pertama, April 2015
Ukuran             : 24  x 15,5 cm
Jumlah Halaman: 296
ISBN 978-602-255-735-7                                  
Harga               : Rp 50.000

Gambaran isi buku

Judul              : Dari Penjara Ke Penjara
Bidang           : Sejarah Perjuangan dalam Konteks Kemerdekaan
Tema         :Perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran emas Tan Malaka dalam konteks Keindonesiaan
Isi pokok     : Studi Komprehensif atas perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran emas Tan Malaka dalam konteks Keindonesiaan

Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusioner yang memiliki jasa begitu besar bagi negara Indoensia . Meskipun sebagian besar hidupnya ia habiskan sebagai tahanan dan buronan pasukan imperialis, tetapi karena kelincahan dan kecerdasannya ia selalu berhasil menyelinap dan masuk ke berbagai negara untuk melancarkan aksinya.

Tan Malaka yang masa kecilnya memiliki nama panggiln Ibrahim, dilahirkan pada 14 Oktober di Nagari Padam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Ia menginggal dunia pada 21 Februari 1949, saat berumur 51 tahun , Di Kediri , Jawa Timur

Saat meletus Perang Dunia I (1914-1918) yang terpusat di eropa membuat Tan Malaka tidak memungkinkan kembali pulang dan dirasakan demokrasi serta kemerdekaan di Belanda sangat berbeda dari keterlibatan kolonial. Ia terjun aktif dalam organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia, serta selalu bersimpati terhadap sosialisme dan komunisme

Pada 1919, setelah menyelesaikan pendidikannya, Tan Malaka pulang ke tanah air , Di Negerinya, Tan Malaka bekerja sebagai guru di perkebunan Tanjung Morawa, Deli , Sumatera Timur. Saat bekerja itulah , Tan Malaka meilhat ketimpangan yang terjadi antara kaum butuh perkebunan dan para majikan perkebunan, ditambah lagi kesewenang-wenangan kaum pemodal

Pada 1921, Tan malaka berhenti bekerja dan memutuskan pergi ke jawa . Ia berhenti bekerja karena ketidakpuasan terhadap para buruh di perkebunan itu. DI tempat itulah , Tan Malaka menyaksikan bahwa terdapat jurang pemisah yang begitu dalam antara kaum imprealis dan tenaga kuli kontrak

Menlihat kenyataan tersebut, Tan Malaka berusaha menjembatani kedua kelompok tersebut dengan cara mengangkat derajat kaum kuli kontar melalui pendidikan, Akan teteapi, usaha tersebut selalu dihalang-halangi oleh pemerintahan Belanda, Akhirnya , Tan Malaka pun merasa tidak betah dan memilih pindah ke tanah jawa.

Awalnya , Tan Malaka singgah di Yogyakarta, kemudian pindah ke Semarang dan bergabung dengan serekat islam cabang semarang,yang saat itu dibawah kepemimpinan Semaun. Pada saat yang sama , semaun mendirikan Partai komunis Indonesia . Mulanya , partai itu masih menjadi bagian serekat islam Semarang.

Bersama Semaun , Tan Malaka Banyak mendirikan sekolah sekolah rakyat di Semarang, dan dengan cepat dapat mempengaruhi tempat – tempat lain yang kemudian banyak berdiri sekolah sekolah rakyat . pada 1921 , saat semaun ke moskow (Rusia-Uni Soviet), Kala itu pulalah Tan Malaka terpilih sebagai ketua PKI semarang. Keputusan itu diambil saat kongres PKI 24-25 Desember 192, di Semarang

Dalam masa kepemimpinannya terhadap PKI, Tan Malaka berhasil menghimpun Sarekat Islam dan National Indische Partij dalam menghadapi penjajah, Bagi Tan Malaka , Komunisme dan SIlam memang saling melengkapi dan revolusi mestinya dibagun atas keduanya.

Aktivitas Tan Malaka dipandang oleh pemerintah kolonial sebagai kegiatan subversive. Ia pun ditangkap dan diusir ke luar negeri pada 22 Maret 1922, atas dasar Exorbitante Rechten gubernur jendral Hindia Belanda. Exorbitante Rechten adalah hak prerogative gubernur jendral unutk menangkap atau mengasingkan siapapun yang dinilai mengacaukan stabilitas keamanan

Saatitu, Tan Malaka mengembara ke berbagai Negara selama 20 tahun, baik sebagai orang biasa meupun buronan. Dalam pelariannya, ia memiliki banyak nama samara, seperti Elies Fuentes ketika memasuki Manila dan Hongkong (1927), Oong Soong Lee ketika memasuki Hongkong dariShanghai (1923), Ramli Husein saat kembali ke Indoensia (1942) , Nama samara lainnya adalah Hasan Ghazali, Ilyas Husein,Sheng kun, tat, elision Rivera dan Haji Hassan saat berada di Chiang May . Sealama di luar negeri, banyak hal yang ia lakukan dan amat menentukan, baik tehadap kemantapan dirinya sebagai pejuang maupun terhadap Hindia-Belanda (Indoensia) yang ia perjuangkan.

Menurut Tan Malaka , ia mengembara dan dipenjara seakan menjadi bukti akan kerasnya perlawanannya terhadap praktik imperlialisme yang mendominasi di berbagai negara. Dalam hal ini , seolah olah Tan Malaka hendak mnegatakan bahwa semakin keras perjuagan dan perlawanan sesorang melawan imprealisme maka akan semakin sering pula ia dihadapkan dengan penjara

Pada satu sisi, Tan Malaka mengambil posisi sebagai symbol perjuangan rakyat Indonesia. Disisi yang lain, keberadaan penjara menjelma tembok imperalisme yang menjadi penghalang setiap perjuangan yang dilakukannya

Posisi dialektik tersebut, yakni antara Tan Malaka sebagai pejuang dan penjara sebagai simnol kekejaman imperalisme , Dibagian awal, Tan Malaka mengungkapkan beberapa konsep diaalektik, yaitu kodrat penolakan dan kodrat penarik, positif dan negatif, serta adil dan zalim
Melalui beberapa konsep tersebut, sebenarnya Tan Malaka hendak memosisiskan didirnya sebagai sosok yang berjuang menuntut keadilan  yang telah tercabut oleh kekejaman dan kezaliman imperalisme.

Isi buku


  •  Tujuan buku ini sangat jelas, untuk senantiasa memosisikan diri dan perjuangan dari Tan Malaka sebagai antithesesis dari setiap prakteik imperalisme
  •   Pembaca sasaran dalam buku ini adalah para sejarawan yang ingin mendalami secara komprehensif tentang seorang tokoh bernama Tan Malaka
  • Tema buku ini menarik, terutama bagi orang oran yang mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi
  • Untuk pembaca sasaran dari buku ini diharapkan dapat menjadi suatu sumber untuk motivasi dalam merasakan menjalani suatu pejalanan hidup dan perjuangan
  • Data data pada buku ini terbukti kongkrit dan benar , pada buku ini banyak tokoh tokoh yang berkomentar langsung megemukakan pendapatnya tentang seorang Tan Malaka
  •  Informasi pada buku ini cukup lengkap untuk mencapai tujuan penulis buku
  • Tidak ada hal yang baru dalam isi buku ini , pada buku ini hanya menerangkan kehidupan spesifik dari seorang Tan Malaka yang menginspirasi .
  • Sama seperti buku seorang tokoh pada umumnya, tidak ada yang spesial
  • Kekurangan dari buku ini yaitu bahasa yang sulit dipahami oleh awam, Tidak ada ada indeks dan glosarium pada buku ini.. Buku ini terfokus pada kelengkapan data,  sehingga penyampaian ke pembaca apalagi awam sangat susah dimengerti, tetapi mungkin bagi orang yang memang dibidangnya merasa nyaman membacanya, berbeda dengan buku yang lain, mereka tidak mefokuskan pada kelengkapan data, mereka hanya memberi data yang vital saja, tidak spesifik tetapi kata kata yang dibawakan sangat mudah dipahami.


Penyajian

  •  Isi buku disajikan secara sistematis dan logis, dilengkapi dengan alas an alas an yang terbukti fakta yang menguatkannya
  •  Bab 1 dan Bab 2 terdapat keterkaitan pada bab 1 mengisahkan dari Indonesia menuju ke Tanah pengasingan, pada bab 2 , menceritakan kebalinya Tan Malaka ke Indonesia
  • Keterkaitan sub Bab 1 dan sub Bab 2 sebagai berikut:

Bab 1
  1. Konsep perjuangan Tan Malaka
  2. Dari Belanda Menuju Indonesia
  3. Penjara dan Pembuangan Pertama
  4. Perjalananan antara Canton,Filipina dan Singapura
  5. Penjara dan Pembuangan Pertama

Bab 2
  1. Penjara dan Pembuangan ketiga
  2. Menyebrang ke Sumatera dan tiba lagi di Jakarta


  • Pada sub bab ini keterkaitannya adalah pelanjutan dari bab sebelumnya, seperti penjara dan pembuangan disitu terdapat 3 sesi pembahasan, jika kita langsung ke bab 2 maka , kita tidak akan mengetahui cerita asal muasal penjara dan pembuangan ke 1 dan 2
  • Penulisan paragraph pada buku ini menggunakan teknik deskripsi, narasi, eksposisi serta argumentasi, semuanya ada, tergantung dalam masalah apa yang yang dihadapi, misalnya dalam perjalanan antara Canton, Filipina dan Singapura disana menggunakan paragraph deskripsi dan ekposisi, karena menceritakan secara terperinci atau mendetil sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri serta menjelaskan atau memaparkan tentang sesuatu dengan tujuan memberi informasi berdsarkan fakta yang ada.
  • Deskripsi yang dipergunakan cukup jelas dan masuk akal, saya mengutip paragraph yang menurut saya masuk akal berdasarkan masalah yang berada di gambaran isi buku, berikut kutipanya:


“Berdasarkan lima tingkatan kemjauan masyarakat, Tan Malaka megajukan tentang konsep negara atau pertentanga kelas yang terjadi pada masing masing periode. Pada tingak pertama , yaitu masyarakat komunis asli. Kala itu masyrakat belum mnegetahui adanya negara yang kelak dikenal sabagai alay penindas kaum borjuis terhadap kaum lemah. Dengan demikian , pada periode tersebut masyarakat belum membutuhkan negara dan pola kehidupan masyarakatnya masih terlaksana berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan.

Menurut Tan Malaka, kebtuhan masyarakat akan keberadaan sebuah negara baru muncul pada tingkat kemajuan yang kedua , yaitu masyarakat budak. Pada tahap ini , kondisi perbudakan mendominasi di berbagai daerah di dunia. Kemudia masyarakat mulai menyadari akan pentingnya suatu negara, terutama bagi kalangan orang orang berpunya (memiliki budak) . Pada tahapan ini Tan Malaka menilai keberadaan negara sudah mulai dimanfaatkan oleh para pemilik budak untuk menindas kaum budak. Negara dan Kekuasaan pada periode ini, lebih digunakan sebagai alat untuk melegalkan penindasan oelh para tuan terhadap budak mereka. Pada masa ini kekuasaan suatu negara memperboleh para majikan untuk memperlakukan budak sekehendaknya, bahkan hingga membunuh sekalipun

Sedangkan pada tingkat kemajuan yang ketiga , yaitu masyarakat feudal, kekuasaan negara dipegang oleh ningrat. Menurut Tan Malaka, kekuasaan negara yang berada di tangan kaum ningrat tetap digunakan sebagai alat untuk memeras dan menindas kaum budak , seperti halnya pada tahapan sebelumnya . Namun, pada periode negara ini sudah tidak memperbolehkan para majikan untuk memperjual belikan budak mereka sesuai dengan kebutuhan majikan.

Pada tingkat keempat , kuasa negara mulai bergeser ke tangan para kaum kapitalis dan tuan tanah. Pada periode ini , keberadaan negara dijadikan sebagai alat penindas oleh kaum kapitalis terhadap para buruh tani. Disamping itu , alat alat atau badan kuasa negara sudah semakin kompleks. Selain keberadaan birokrasi , militer , polisi , mahkamah , penjara dan Algojo , Tan Malaka juga menilai bahwa kaum kapitalis juga memiliki alat batin (seperti surat kabar, gambar hidup, sekolah, dan gereja) yang dapat digunakan untuk meracuni pemikiran dan jiwa kaum proletar.

Sedangkan pada tingkat kelima , yakni mastyarakat sosialis , keberadaan negara sebagai penindas belum sepenuhnya bisa hilang dalam kehidupan masyarakat. Pada periode ini menurut Tan Malaka , kuasa negara menjelma menjadi kuasa kaum proletar atau disebut dengan “dictator proletaria”. Kuasa negara yang dipegang oleh dikatator lebih digunakan sebagai alat untuk mendikte atau mensosialisasikan dasar dasar pertumbuhan komunisme, meruntuhkan sisas sisa kapitalisme dan feodalisme, serta mempertahankan negaranya agar tidak diambil alih elh kekuatas kekuatan kapitalisme dan feodalisme”


  • Narasi yang dipergunakan memberikan informasi tentang setiap persitiwa dibawakan secara kronologis dan lengkap, berikut saya kutip dari beberapa pargraf yang merupakan narasi


“Untuk menaksir sifat, tujuan akibatnya pada perjanjian Linggarjati yang ditanda tangani pada tanggal 25 MAret 1947 dan perjanjian Renville yang ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, maka kita perlu memperhatikan kondisi saat kedua perjanjian diadakan

Seandainya kedua perjanjian itu diadakan dalam suasana damai , sebagai suatu penyesalan  dari pihak imperialisme Belanda terhadap rakyat Indonesia , maka kedua perjanjian itu dapat dianggap sebagai salah satu kemajuan bagi perjuangan politik rakyat Indonesia. Namun , kalau diperhatikan , kedua perjanjian itu dibentuk dalam suatu suasana dimana rakyat Indonesia sedang membela kehormatan negaranya. Oleh karena itu, Kata Tan Malaka, kedua perjanjian itu berarti suatu kesalahan besar dan bahaya yang tidak terhingga bagi kemerdekaan rakyat Indonesia .

Menurut perjanjian linggarjati , wilayah dan 20 juta rakyat Indoensia secara de facto dibagi menjadi Jawa-Sumatera. Yang tidak kurang pentingnya ialah kenyataan bahwa dengan pengakuan mahkota Belanda, Kadaulatan dibagi – bagi dan dipindahkan ke bangsa asing , Walaupun sementara waktu, Akhirnya , Menurut pasal 14 Linggarjati akan berdampak kelak dapat mengembalikan pengakuan dan pengembalian Indonesia sebagai hak milik Belanda. Sehingga , kekuasaan politik rakyat Indonesia akan menjadi fatamorgana.

Perjanjian linggarjati hanya mengembalikan penjajahan Belanda atas Indonesia dalam bentuk baru. Anehnya pemerintah Indonesia mengaangapnya sebagai keberhasilan diplomasi. Seandainya 9 pasal usul Indonesia diganti dengan 17 pasal usul belanda , baru itu dikatakan sebagai diplomasi yang berhasil

Diplomasi yang benar menurut Tan Malaka, jika kedua negara sama sama merdeka 100% dalam menentukan kesepakatan kesepakatan. Sehingga dengan ikatan perjanjian kemerdekaan 100% secara tidak timpang sebelah itu, kedua negara sama sama dapat menabung x% untuk suatu keuntungan y% secara setara. Sayangnya , perjanjian tersebut malah merugikan Indonesia”


  • Penggunaan ekposisi memberikan informasi yang jelas dan objektif, saya belum bisa memberikan kepastian lengkap atau tidak, karena masih banyak hal yang harus saya pelajari untuk mengetahui lengkap atau tidanya informasi yang disampaikan pada buku ini. Berikut kutipan paragraph ekposisi dari buku ini yang saya ambil:


“setiap manusia baik masyarakat kota ataypun pedalaman pada dasarnya meiliki potensi yang sama unutk mengembangkan diri dan berdialetika dengan lingkungan sekitar nya , sehingga terbentuk sebuah karakter kultur yang khas, artinya pada setiap kebudayaan terbentuk akibat proses dialetika antara faktor internal (potensi) dengan faktor ekternal (lingkungan)

Akan tetapi revolusi lebih menekankan aspek eksternal sebagai pendorong utama unutk proses pembentukan kebudayaan manusia. Penekanan semacam itu pula yang dianggap oleh para antropolog sebagai kelemahan teori evolusi . penekanan faktor pendorong ekstrenal mengakibatkan pengabaian terhadap aspek internal , Hal itu tampak pula dalam teori yang dgunakan Tan Malaka


  • Argumentasi yang dipergunakan didukung oleh data, fakta dan alasaan yang menyakinkan, berikut saya berikan kutipan beberapa paragraf argumentasi


Alasan terpenting Tan Malaka menerima usulan pencalonan tersebut adalah supaya dirinya meiliki banyak kesempatan untuk mempropagandakan kondisi miris yang dialami masyarakat dalam menghadapi kesewenangan kenangan pemerintah belanda . maksud propagandanya tersebut mendorong CPH agar memberikan bantuannya kepada bangsa Indonesia dalam berjuang melawan Imperialisme


  • Pada buku ini hanya berbentuk ilustrasi dengam mengambil sampel contoh dalam bentuk tulisan, tidak ada ilustrasi dalam bentuk visualisasi gambar, buku ini hanya memberikan ilustrasi yang mendukung konsep atau gagasan penulis berupa kutipan tulisan-tulisan Tan Malaka mengenai pengalaman dan cerita kisah hidupnya.
  • Penulis hanya berperan sebagai pengamat dalam sajian buku ini. Informasi-informasi terkait pengalaman dan kisah hidup Tan Malaka yang dimuat di dalamnya penulis dapatkan dari Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan beberapa buku, artikel serta esai. Meskipun penulis tidak terlibat langsung dalam kehidupan Tan Malaka, namun penulis mampu memberikan ilustrasi yang cukup jelas terkait kehidupan tokoh utama, Tan Malaka.
  • Buku ini dapat dibilang memotivasi, tetapi untuk meciptakan perasaan termotivasi itu tergantung dari pribadi sang pembaca, jika dia mempunyai skill di bidang yang sama dengan penulis, maka buku ini smempunyai nilai motivasi yang tinggi, tetapi untuk awam, sepertinya tidak akan termotivasi, karena persoalan yang dibahas memang cukup rumit dan susah dimengerti .
  • Kepustakaan yang dipergunakan kurang mutakhir dan relevan, karena tidak memuat uraian sitematis tentang kajian literatur melainkan hanya memasukkan kutipan tulisan sang tokoh utama yang tidak disertai dengan authornya. 
  • Tidak ada indeks dan glosarium dalam buku ini. 


Bahasa


  • Buku ini sudah menggunakan kaidah kaidah bahasa yang baik dan benar begitu juga unsur unsur kalimatnya tetapi ada beberapa tanda baca yang memang keliru, disana terdapat koma sebelum kata “dan”. Penggunaan koma (,) sebelum kata “dan” hanya diperbolehkan jika kalimat tersebut merupakan kalimat yang diperbolehkan menggunakan tanda koma (,) sebelum kata “dan” sesuai aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu masih ada pemborosan kata seperti kata berulang, sehingga kalimat menjadi kurang efektif.
  • Masing masing paragraf memiliki gagasan pokok serta diberikan kalimat pendukung, jadi meskipun kita belum selesai membaca, atau merasa lelah membaca tulisan yang banyak, maka dengan kita tahu gagasan pokoknya, kita sudah dapat mengambil maksud dari paragraf tersebut.
  • ·         Pemilihan kata, panjang dan susunan kalimat sudah sesuai dengan kemampuan membaca sasaran. Bahasa yang digunakan dalam kalimat-kalimat di buku ini cukup mudah dipahami dan dimengerti karena tidak banyak menggunakan istilah-istilah yang tinggi.


Evaluasi

  • Tema buku ini menarik, melihat judul bukunya saja sudah menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca, karena buku ini menceritakan pengalaman, perjalanan hidup, perjuangan, dan pemikiran emas Tan Malaka dalam konteks keindonesiaan yang cukup memotivasi pembaca.
  • Dengan adanya informasi yang lengkap dari buku ini, pembaca akan tertarik untuk menjadikan buku ini sebagai referensi atau pacuan untuk membuat penelitian baru .
Keunggulan
  1. Isi buku ini menceritakan sangat detail tentang metamorfosa PLN, road map, perubahan Ideologi pemerintah, Undang undang, dan berbagai pandangan, serta lampiran lampiran data dari seminar ketahanan energi nasional
  2. Penyajian juga disajikan dengan detail dan konkrit, semua dibahas / disajikan dengan fakta fakta yang ada, terbukti dengan adanya lampiran undang undang dan hasil seminar seminar ketahanan energi nasional di berbagai instansi
  3. Untuk bahasa , dilihat dari segi analisa penelitian , bahasa yang digunakan sangat cocok.
Kelemahan
  1. Isi buku ini terlalu banyak data yang tidak membuat nyaman para pembaca, mood dari pembaca berbeda beda, ada yang suka terhadap kelengkapan data seperti pasal dan undang undang.
  2. Dalam penyajian menurut saya tidak ada kelemahan
  3. Untuk bahasa , dilihat dari segi hobi , bahasa yang digunakan sulit untuk dimengerti , karena menggunakan bahasa tingkat tinggi/bahasa penelitian
  4. Rekomendasi terhadap buku ini yaitu alangkah lebih baik jika penulis memperhatikan gaya bahasa untuk semua kalangan, boleh saja data dan fakta banyak, tetapi untuk sebuah buku yang sudah lepas di pasar, baiknya dari isi, penyajian dan bahasa dibuat secara umum / dapat dimnegerti oleh semua kalangan.
Kesimpulan

Dari tebalnya buku yang saya baca ini, ada beberapa bab yang menarik hati. Di Deli, menceritakan kondisi kuli kontrak yang merana, ditekan di bawah kaki tuan-tuan kebun yang kejam. Laporan Tan 90 tahun lalu ini, sangat mengiris hati. Berikut ini saya kutip apa yang Tan tulis : “Deli penuh dengan lanterfanters dan schiemiels Belanda. Tongkat besar kepala kosong dan suara keras. Inilah gambaran borjuis gembel di Deli. Mereka dapat lekas kaya, karena gaji besar dan mendapat bagian tetap dari keuntungan, apabila telah bekerja setahun saja. Kalau tidak salah, selain gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bagian keuntungan f 200.000. Tuan maskapai malah lebih dari itu, mendapat gaji tetap sebagai direktur dan adviseur beberapa maskapai, dari bunga modal yang ditanamnya, tetap juga menerima bagian yang lebih besar lagi dari keuntungan kebun. Tuan maskapai adalah pemegang andil yang terbesar, tetapi tidak bekerja, dan biasanya berada di tempat yang jauh, tamasya keliling Eropa. Yang kaya cepat bertambah kaya. Inilah impian kosong schiemels Belanda dengan tongkat besar di kebun Deli, di kamar bola di depan gelas bir dan wiskinya.

Kelas yang membanting tulang dari dini hari sampai malam, kelas yang mendapat upah hanya cukup untuk pengisi perut dan penutup punggung, kelas yang tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, yang sewaktu-waktu di-godverdomi atau dipukul. Kelas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadisnya jika dikehendaki oleh ndoro-tuan, adalah kelasnya bangsa Indonesia yang terkenal sebagai kuli kontrak. Kuli kebun, laki-laki atau perempuan, biasanya harus bangun pada pukul 4 pagi, karena kebun tempat mereka bekerja letaknya jauh. Pukul 7 atau 8 malam mereka baru tiba di rumah. Gaji menurut kontrak f 0,40 sehari. Makanan biasanya tidak cukup untuk bekerja keras, mencangkul di tempat panas delapan sampai 12 jam sehari. Pakaian pun cepat rusak karena sering bekerja di hutan.

Kekurangan dalam segala-galanya, menimbulkan keinginan untuk mengadu nasib dengan bermain judi, nafsu yang sengaja diciptakan oleh maskapai sesudah hari gajian. Yang kalah berjudi biasanya lebih banyak daripada yang menang. Yang kalah diizinkan berutang. Karena terikat utang, maka 90 dari 100 kuli yang habis masa kontraknya, terpaksa memperpanjang kontraknya lagi. Utang menimbulkan keinginan berjudi dan perjudian menambah utang terus-menerus.” Demikian laporan Tan yang menceritakan kondisi yang timpang dalam perkebunan Deli, Sumatera Timur.

Suasan perkebunan Deli untuk penanaman tembakau. Berduyun-duyun kuli kontrak didatangkan Belanda ke daerah ini. Mereka yang terbanyak berasal dari Jawa, India, dan Tiongkok. Pada mulanya hanya kuli-kuli Tionghoa yang mengisi perkebunan ini. Namun seiring berjalannya waktu, Belanda kesulitan untuk mendatangkan kuli-kuli asal Tiongkok ini. Sebagai penggantinya, maka kuli-kuli Jawa-lah dan kemudian India yang dipilih untuk bekerja disini. Selama 1,5 tahun Tan berada di Deli, macam-macam saja kejadian yang berlaku. Tak kurang seratus sampai 200 tuan-tuan Belanda mati di bacok kuli. Kejadian ini didasarkan karena timpangnya peri kehidupan mereka. Di Deli, lanjut Tan, jelas sekali pertentangan kelas, antara Belanda-kapitalis-penjajah dengan Indonesia-kuli-jajahan.

Di bab ini pula, kita akan membaca bagaimana kuatnya prinsip Tan yang tak pernah mau membungkuk kepada siapapun, termasuk tuan-tuan Belanda yang mempekerjakannya. Sewaktu sekolah di Belanda-pun, Tan akan naik pitam jika ada anak-anak Belanda yang mengolok-oloknya sebagai inlander. Tak salah kalau Bung Hatta menjuluki Tan sebagai orang yang berpunggung lurus. Berikut sedikit saya ambil cerita Tan sewaktu menjadi pelajar di Belanda. “Pengalaman saya di Belanda di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan olah raga, jangan kita sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan akan lebih lantas-angan. Kalau dia di jalan raya memanggil vuile Neger ataupun water Chinees, lalu kita menghampiri dan bertanya, “apa kamu bilang? sebutkan sekali lagi” sambil siap sedia, maka 99 dari 100 kejadian, dia akan berkata: “niets, meneer” atau bungkam mulut. Kalau di lapangan bola si Belanda sedikit saja tersinggung, memaki kita, jangan sekali-kali makiannya itu dibalas dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula “Groote bek opzetten”. Hantam saja, tetapi secara sportif ! Pasti dia akan menjadi lebih sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya resep saya, Belanda jangan sekali-kali dikasih hati.” Begitu cerita Tan Malaka ketika sekolah di Belanda dulu. Masih di bab ini, kita akan melihat lagak gaya Tan, mencemeeh petinggi-petinggi Belanda, dengan gaya sindiran khas Minang yang populer itu. Bab di Deli ini ditutup dengan ressign-nya Tan Malaka dari Senembah Mij, perusahaan perkebunan tempat ia ditugaskan Dr. Janssen, untuk membuat sekolah bagi anak-anak kuli.

Selain itu tangkap Buang I, yang berkisah tentang sekolah rakyat kedua yang didirikannya di Bandung. Dari bab ini kita akan melihat bahwa Tan adalah seorang pendidik yang pandai. Dalam perjuangan membebaskan bangsanya, ia tak hanya pandai berretorika. Tapi juga menebar ilmu pengetahuan, yang menurut keyakinannya, bahwa kelak pendidikanlah yang akan mengantarkan bangsa ini menuju pintu kemerdekaannya. Atas tindakannya membangun sekolah rakyat itu, Tan dianggap sebagai musuh berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pengetahuan Tan Malaka. Selain penikmat buku-buku filsafat dan politik, ternyata Tan juga seorang pecandu buku-buku sejarah. Pada bab ini, Tan malah mengkritik pola penulisan sejarah Indonesia, yang menurutnya hanya berdasarkan khayalan dan dongeng-dongeng belaka. Di nomor 5, yang berjudul Kerajaan Malaka Tinggal Kenangan, Tan berceloteh panjang mengenai riwayat kerajaan ini, dari kemunculannya hingga penaklukan oleh imperialis Portugis. Analisa Tan mengenai kejatuhan Malaka, bukanlah disebabkan oleh kalahnya persenjataan dan strategi orang-orang Melayu, namun dikarenakan adanya perpecahan serta sokongan pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang membantu Portugis untuk menaklukkan Malaka.

Masyarakat Tiongkok di Singapura, Berikut saya petik analisa Tan mengenai kejatuhan kerajaan Malaka. “Dari sumber Barat kita dapat mengetahui bahwa teknik Portugis di masa itu pada dasarnya tak seberapa melebihi teknik Malaka. Keduanya memakai kapal perang dan senjata api. Menurut sumber Portugis, Kerajaan Minangkabau sudah pandai melebur besi dan membikin bedil dan meriam (lela) dan mengirimkan senjata itu ke Aceh dan Malaka setiap tahun, ratusan banyaknya, lama sebelum bangsa Portugis datang di Indonesia. Perbedaan teknik Portugis dan Malaka, cuma terdapat dalam perbedaan kekuatan senjata itu saja. Meriam Portugis, dapat menembak lebih jauh daripada meriam Malaka ! Memang perbedaan kekuatan ini menimbulkan satu handicap (rintangan) di pihak Malaka, tetapi rintangan ini dapat diatasi oleh muslihat dan keberanian. Demikianlah berkali-kali armada Portugis dapat dikalahkan ! Tetapi riwayat kemenangan yang berkali-kali terdapat di laut itu, kita baca sesudahnya kota Malaka ditinggalkan. Tetapi bagi saya, armada, tentara, dan strategi Portugis belum tentu sekali dapat mengalahkan armada, tentara, dan strategi Malaka, kalau yang tersebut di belakang ini berada dalam keadaan normal (biasa). Bukankah tentara Aceh dapat mengalahkan tentara Portugis ? Bukankah pula Sunan Gunung Jati yang berasal dari Aceh menghalaukan armada Portugis dari Jawa dan menunda penjajahan Barat atas Jawa lebih kurang satu abad lamanya, dan memotong jalan Portugis ke Maluku mencari barang dagangan yang penting ?

Pokok sebab yang menaklukkan kerajaan Malaka haruslah kita cari di luar kekuatan armada dan keuletan strategi di kedua belah pihak. Pertama sekali, prajurit laut Portugis pada permulaan peperangan tak akan sanggup mendarat, kalau tidak mendapat pertolongan ratusan jung Tionghoa yang berada di pelabuhan Malaka. Kedua, boleh dikatakan tak ada kerjasama antara armada Adipati Unus dari Jepara dengan armada Malaka. Ketiga, tipis sekali kerjasama antara pemimpin suku bangsa Jawa yang tinggal di kampung Uni di bawah Patih Utimutis dengan suku bangsa Melayu yang langsung berada di bawah pemerintah sultan pada peperangan menghadapi serangan tentara Portugis, di dalam kota Malaka. Keempat, perpecahan di dalam masyarakat bangsa Melayu sendiri. Kezaliman Sultan Mahmud, yang memegang pemerintahan (sebelum Portugis menyerbu) pada satu pihak, dan kekayaan para hartawan dan para pembesar Malaka di lain pihak, menjadi alat adanya beberapa golongan yang bertentangan dan bersenjata dalam kota Malaka sendiri.” Demikianlah uraian analisa Tan Malaka mengenai kejatuhan kerajaan Malaka.

Masih di bab ini pula, Tan menceritakan bagaimana tukar alihnya jumlah populasi bangsa Melayu di Semenanjung Malaysia dan Singapura, dengan bangsa tetamu dari Tiongkok dan India. Pada masa-masa perjalanan Tan di Semenanjung dan Singapura, Tan melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kapitalis Inggris telah memasukkan lompen proletar asing, orang lontang-lantung dari Tiongkok, atau para penjahat yang dikejar pemerintah Tiongkok, masuk dan berkuli di kebun-kebun orang Melayu. Masuknya orang-orang Tionghoa dan Keling ke Malaysia dan Singapura, telah mengubah persentase populasi etnis di negeri ini. Bangsa Melayu yang sebanyak dua juta orang, telah dilampaui oleh etnis pendatang dari Tionghoa yang lebih dari dua juta, serta ditambah lagi oleh orang Keling sejumlah satu juta jiwa. Di sini pulalah cerita bersambung kepada tingkah laku Sultan Hussein, seorang gila yang ditolak di Johor untuk menjadi raja, menjual Singapura kepada Raffles seharga $ 60.000.

Begitulah sedikit kisah Tan Malaka dari bukunya ini, yang banyak dibaca oleh aktivis-aktivis pergerakan di Indonesia dan Malaysia. Tak dapat lagi saya membendung rasa haru, mengingat tulisan ini dibuatnya di dalam penjara, di bawah pengejaran tentara Republik yang menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan. Bagi Anda pecinta sejarah, buku karya Tan Malaka ini layak dibaca, ataupun menjadi koleksi perpustakaan pribadi.

Daftar Pustaka
Ali Fakih, Abraham, 2015. Dari Penjara ke Penjara. Yogyakarta: PALAPA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS